Amnesia (1)



Mungkin benar kata orang. Tak ada sunyi di Jakarta. Aku merasakannya kini. Meski tentu tidak masuk kategori sunyi mencekam yang mengerikan seperti halnya pembunuhan, pencopetan, penipuan, korupsi. Meski memang mencekam bisa saja digolongkan tanpa suara, seperti sunyi. Tapi ia memiliki makna yang jauh berbeda.
Aku mulai tak perduli, sunyi atau tidak. Yang pasti aku tak terganggu oleh masa lalu yang pernah diungkit-ungkit dalam sebuah pertemuan tempo hari, yang sebenarnya entah disengaja atau tidak. Yang pasti pertemuan itu sudah menciptakan persepsi-persepsi baru yang jauh berbeda dengan persepsi yang selama ini aku pegang.
Tak apa, ini sudah terjadi, dan tak bisa terulang. Akupun sudah menentukan pilihan jauh hari untuk tak kembali ke lubang yang sama, lubang yang kini jauh lebih buruk. Dan tak ada berbenah, meski banyak keadaan yang menyudutkannya dalam kehidupan. Banyak kepahitan yang menghampirinya. Semoga ia cepat berubah setelah aku pergi, lagi.
Jakarta, oh jakarta. Terlalu banyak pameran gedung menjulang diantara rumuh-rumuh kumuh tak layak huni. Toleransi yang mengagumkan. Orang miskin yang tak pernah punya niat mengusik keadaan orang kaya yang sedemikian mapan. Dan orang kaya yang tak perlu merasa perduli dengan keadaan tetangga yang berantakan.
Tak banyak yang aku inginkan disini, ingin tau bagaimana pusat kehidupan Indonesia. Interaksi antar manusia, kehidupan sehari-hari. Satu hal lagi, aku ingin tenang menulis, ketenangan menulis bersama penulis. Sebuah hal yang tidak aku dapat di tempat sebelumnya. Aku sudah janjian dengan seorang wartawan yang siap menampungku disini. Mengenalkanku kepada banyak penulis, sekaligus penerbitnya. Ya, aku tau hal tersebut bukan hal sulit untuk seorang wartawan.
Sehari sampai, Wartawan sahabatku itu –Namanya Jhon- mengajakku bertemu dengan sebuah komunitas penulis di Ibukota. Tulisan mereka sudah dibaca oleh banyak orang dan sering jadi best seller. Aku kenal wajah-wajah mereka, beberapa. Dan beberapa lagi, masih tampak asing. Hari itu, tepat hari dimana pertemuan terjadwal diadakan. Mereka menyebutnya “Key Idea”, pertemuan diskusi dan sharing banyak hal tentang banyak hal. Sebuah pertemuan penulis ibukota yang diadakan dua minggu sekali.
Tempatnya sederhana, sebuah perpustakaan pemilik toko buku ternama di Jakarta. Ia memodali seluruh kegiatan pertemuan yang diadakan para penulis ini. Di dinding-dinding ruangan penuh dengan poster kata-kata mutiara.
“Riki, riki” Begitu aku memperkenalkan diri kepada semua yang ada disana. Tak ada sebuah perkenalkan resmi, hanya berjabat tangan. Dan aku pun tak mengingat satu persatu nama orang yang aku salami. Tak ingin sibuk-sibuk mengingat. Mereka terlalu banyak, ada sekitar 70 orang. Beberapa sudah aku kenal, dari buku mereka. Yang lain, suatu saat aku akan mengenal mereka, bukan dengan mengingat nama mereka ketika berjabat tangan.
“Sudah? Dimulai?”
Itu yang aku dengar. Seorang laki-laki berjaket hitam dengan topi abu-abu menjadi pusat perhatian. Kia, penulis senior yang kerap menulis kritik-kritik terhadap pemerintah lewat cerpen yang sering muncul di media masa. Tajam, keras, tapi tak pernah membiarkan pembaca tak tersenyum dengan tulisannya. Selalu ada komedi yang ia selipkan.
Kia {Aslinya Subakir. Orang madura. Logatnya masih sedikit kaku mengucapkan bahasa Indonesia. Lidahnya terlalu lama tinggal di Madura. Soal nama Kia, ia sendiri tak tahu sejak kapan mulai mendapat nama itu. Yang pasti sejak kelas 3 SD sudah dipanggil Kia oleh teman-temannya. Begitu ia bercerita padaku suatu ketika} memimpin dengan penuh wibawa. Tapi seperti halnya ketika menulis, ia tak pernah meninggalkan sisi-sisi yang membuat orang lain tertawa. Cerdas memecah suasana yang kaku.
Pertemuan yang mengesankan. Setidaknya jadi awal yang baik untuk bisa belajar banyak dari mereka. Setidaknya pula, akan menjadi alat untuk membuatku amnesia terhadap masa lalu. Aku memang selalu berharap, sekarang dan masa depan adalah fokus dari setiap pikiran manusia. Dan tentu juga pikiranku. Masa lalu tak punya ruang dimasa depan.
>>>> 
Aku pikir, semua penulis punya idealisme. Seolah menjadi wajar ketika mereka kadang-kadang nampak aneh dengan tampilan dan sikap mereka. Beberapa orang memilih untuk memperlihatkan idealisme mereka dari fisik. Tapi beberapa penulis lain, lebih fokus untuk menunjukkan idealisme lewat kata-kata yang dituliskan.
Pertemuan dengan banyak penulis membuatku banyak belajar untuk memahami orang lain dengan karakter yang bergitu beragam. Mereka adalah miniatur dari kultur keberagamaan Indonesia. Dan para penulis disini, sepertinya tak ada yang saling bermusuhan. Setidaknya, tidak dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan.
Penulis senior agaknya memang “tak bisa” angkuh. Kia, dan Jim Sa menunjukkannya. Mereka bersikap sangat baik kepada penulis-penulis baru, bahkan kepadaku, orang baru yang belum bisa dianggap penulis. Mungkin karena setiap hari berkutat dengan renungan-renungan dan introspeksi yang membuat mereka sedemikian rendah hati. Aku tak tau. Yang aku tau, bahwa penulis selalu ingin membaca diri dan membaca keadaan di sekeliling mereka, untuk, setidaknya sedikit menjadi lebih baik.
Aku mulai suka nuansa Jakarta. Nuansa keberagamaan penulis yang tak memicu konflik.  Perbedaan memang tak punya alasan untuk memicu perpecahan. Seperti laki-laki dan perempuan dalam bingkai cinta. Apakah alasan berbeda harus membuat laki-laki dan perempuan tak bisa bersatu?
Untuk sementara, nuansa jakarta cukup menyehatkan otakku. Entah esok hari, atau lusa, atau nanti jika aku sudah mengenal jakart lebih jauh. Aku tak berharap ini seperti pacaran. Di awali dengan bahagia, di akhiri dengan air mata.
Aku tidak sedang curhat masa lalu.
Idealisme canggung. mungkin itu yang sedang dihadapi oleh penulis awal sedang mencari genre yang sesuai dengan keinginan hati dan kemampuan yang dimiliki. Aku pun sama. Dan bersyukur, orang seperti Bang Kia dan Om Jim sa banyak membantu mencarinya.
Tapi kadang aku tidak nyaman dengan mereka ketika diskusi empat mata, tiba-tiba pertanyaan tentang pasangan muncul.
“Sudah punya pacar?”
Atau
“Kapan mau nikah?”
Mungkin itu pertanyaan yang wajar. Tapi aku sendiri belum siap untuk mendapat pertanyaan seperti itu. Ada bekas cerita yang mengendap, dan tak bisa membuatku menikmati cerita yang akan datang.


Selalu aku jawab dengan senyum. Hanya senyum. Apalagi? Hanya itu jurus ampuh yang aku punya untuk menguapkan pertanyaan mereka. 

TO BE CONTINUED....

You Might Also Like

0 komentar