Amnesia (2)

Mungkin
terdengar janggal, tapi itu yang diajarkan ibu. Dan Bapak pun menganggukkan
kepala. Bagi orang pribumi, itu tanda setuju. Sebab ayahku bukan orang india,
juga bukan keturunan negeri Mahatma Gandhi tersebut yang menganggap mengangguk
adalah tanda tidak setuju. Juga bukan bangsa Arab yang menganggap menggelengkan
kepala sebagai tanda setuju. Soal ini, aku tau ini dari buku. Benar tidaknya,
aku belum bertemu dengan mereka langsung.
“Kalau
ingin abadi, kamu harus menulis, nak.” Begitu kata Ibu.
Mula-mula,
aku mengedipkan mata, sambil sedikit memiringkan kepala, sebagai tanda berpikir.
Tapi seorang Ibu, sekalipun anaknya diam, tetap akan tahu bagaimana gejolak
dalam hati anaknya. Dan itu terjadi pula pada Ibuku. Ia memang seorang Ibu
sejati. Ia lantas menerangkan, mengerti bahwa anaknya tidak paham. Benar-benar
ibu yang sempurna.
“Andaikan
tak ada Injil, Taurat, Zabur, atau Al-Qur’an yang menerangkan Adam. Ia mungkin
tak akan pernah dikenal sampai kini, hari dimana mungkin dunia hampir berakhir.
Dan ia masih hidup dalam cerita-cerita yang dibawa manusia. Juga andaikan
cerita Fir’aun tak pernah tertulis. Mungkin nasibnya akan sama seperti buyutmu.
Tidak ada riwayatnya sama sekali”
Bapak
yang mendengar itu mengangguk.
Alasan
itulah yang kini menjadi alasan orang tua ini menulis sampai sekarang. Kehidupan
tanpa karya adalah kehidupan yang kosong. Seolah kau tidak pernah menjejakkan
kakimu sama sekali pada kehidupan. Bagaimana tidak? Kau hidup. Melakukan sesuatu
yang tidak berarti. Lalu mati, apa yang dikenang dari hidupmu. Tidak ada!
Orang
tidak perlu amnesia untuk begitu saja menghapusmu dari memori mereka sebab kau
hidup hanya berjalan tanpa berbuat sesuatu. Kamu hidup untuk dirimu sendiri dan
tidak pernah perduli dengan orang lain. Kau tau seorang aristoteles, dengan filsafatnya
yang didewa-dewakan oleh banyak orang itu, andaisaja ia tidak menulis, dan ditulis
kata-katanya oleh orang lain, tentu jejak peninggalannya tidak sampai kini. Tapi
jika kamu tidak menulis, siapa yang akan menuliskan kekayaan intelektulitasmu
sebab orang lain tidak pernah tau apa yang ada dalam isi otakmu. Yang tau
adalah kamu sendiri, dan rekamlah otakmu dalam tulisanmu.
Itulah
alasanmu tidak berhenti disini dan menyerah pada kesulitan yang akan kau hadapi
dalam menulis. Kau tidak akan meraih apapun dari ketikuatanmu menghadapi
masalah. “Jika kamu tak tahan dengan lelahnya belajar, maka kamu harus tahan
menanggung perihnya kebodohan”.
Ini
persembahan awal untuk kedatanganmiu ke jakarta, maaf, aku hanya bisa mengirim
surat ini kepadamu. Aku sempat-sempatkan. Sebulan ini, aku akan berada di
Paris. Kau bisa mengirimiku email jika ada sesuatu yang kau butuhkan. Aku terakan
alamatnya dalam suratku ini. Aku melihat ada taring di gigimu, dan cakar dalam
tanganmu. Jika hanya untuk kau buat tidur, diam, menangis dan tersenyum untuk
dirimu sendiri. Sungguh, itu lebih baik kau tak pernah hidup sama sekali!
Subakir
***
Dan
segera aku melirik jam dinding, jam 1 pagi. Mata merah ini tak lagi bisa diajak
menulis. Sudah tertidur, tertidur beberapa kali. Tak kuat lagi. Aku matikan
laptop dan segera aku rebahkan tubuhku. Surat Bang Kia tadi pagi membuatku
benar-benar berkobar. Tidak bisa aku jika harus membantah dan memang tidak
punya argumentasi untuk membantah suratnya. Aku yakini tulisan itu adalah
tulisan yang ditulis dengan hati. Tapi untuk apa menuliskan surat seindah itu
untukku? Apa istimewanya?
Barangkali
memang hal wajib untuknya menuliskan hal-hal demikian pada anggota barunya. Barangkali?!
***
“Bukan,
Bukan. Aku tahu Bang Kia bukan tipikal seperti itu. Aku tau ia terbuka, tapi ia
tidak biasa menyambut orang-orang baru seperti apa yang ia lakukan padamu!”
Itu
jawaban Jhon ketika aku sodorkan surat dari Bang Kia dan aku tanyakan padanya
kira-kira untuk apa?
“Lalu?”
Ia
hanya mengangkat bahu. Aku ikut mengangkat bahu lalu kembali menyendok nasi pecel
di depanku.
“Sudah
kau buang itu masa lalu?” Tiba-tiba Jhon membuka suara. Dan yang ia suarakan
adalah tema yang sama sekali tidak ingin aku singgung sampai semua benar-benar
tak berbekas. Aku memilih diam dan meneruskan makanku. Ia pasti mengerti aku
tak ingin hal ini diungkit kembali.
Bukan
diam, ia malah menambahnya.
“Kau
harus banyak belajar untuk tidak terlalu keras menghapus. Itu akan sia-sia”
Kini
aku pandangi matanya, dengan tatapan geram. Dan kini ia paham.
“Kita
sedang makan, jangan biarkan kelaparan ini hilang dan berubah kegeraman!”
Begitu mataku berkata.
0 komentar