Perekat Kedamaian Maluku
Sudah
kita lihat dengan deraian air mata dan hati yang ngilu. Peristiwa tumpahnya darah
konflik Maluku yang pilu. Kerekatan bertahun-tahun yang terjalin tiba-tiba
terlepas dan cucuran darah tak terelakkan. Konflik agama pecah, nyawa-nyawa dan
luka-luka berjatuhan.
Sudah
kita lihat, dan kita kenang dengan memori yang menghanguskan ribuan rumah dan
milyaran materi. 10 tahun pasca kedamaian konflik agama di Maluku yang
berlarut-larut. Satu tahun sebelum lahirnya abad milenium, anak-anak disuguhi
air mata dan kerap berjumpa Izrail yang intens datang untuk mencabuti
nyawa-nyawa manusia di sana dengan berbagai cara. Anak-anak gemetaran sendiri
tanpa ibu, tanpa mainan, tanpa celana melihat Izrail memainkan nyawa.
Itu
cerita lalu, pergumulan dua agama yang kini mulai menyatu kembali. Tak akan kau
sangka dan kau nyana bahwa tukang ojek dan pedagang keliling (papalele) adalah
penyejuk dari panasnya keadaan. Deklarasi Malino yang diprakarsai oleh wakil
presiden tahun itu yang kini kembali duduk kembali di kursi yang sama
sesungguhnya hanya sekedar formalitas. Perekat sesungguhnya adalah sosok yang
sudah aku katakan, tukang ojek dan papalele. Mereka berubah menjadi
sangat arif dan paham keadaan.
Persoalan
nyala dapur adalah sumber dari kesadaran bahwa permusuhan hanya akan menghambat
gizi isi perut. Tukang ojek dan pedagang kelilinglah yang pertama kali memilih
untuk menyatu dan mengais kembali rezeki yang selama ini berceceran.
Pedagang
keliling adalah bagian dari kasta tidak tersentuh yang dianggap tidak memiliki
potensi untuk menyulut permusuhan hingga mereka bisa keluar masuk dari daerah
konflik dengan mudah. Kesempatan keluar masuk daerah itu pula yang dengan
naluriahnya menjadikan para papalele sebagai negosiator ulung dengan
berpartisipasi mendinginkan keadaan.
Kebebasan
keluar masuk daerah konflik tidak terjadi pada tukang ojek. Tapi dengan itu
pula, mereka menyiptakan “koalisi” yang spesial. Rute kadang dilewati adalah
rute konflik, hingga tidak mungkin mereka masuk ke daerah tersebut. Dan ojek
estafet (oper dengan ojek dari daerah lain) akhirnya menjadi pilihan. Cara
tersebutlah yang menyiptakan terjalinnya hubungan baik tukang ojek antar daerah
konflik.
Melihat
kerekatan yang terjalin dari tukang Islam dan Kristen itulah, orang-orang mulai
sadar, “Bagaimana mungkin tukang ojek bisa melepaskan dendam, dan kita tidak?”
Sampai akhirnya orang-orang satu persatu memilih untuk menyatu kembali.
Satu
pelajaran yang harus kita ambil adalah, bahwa setiap kasta punya cara dan
sistem untuk menjadikan kehidupan bermanfaat. Barangkali kita tidak punya
pandangan bahwa pedagang keliling dan tukang ojek bisa manjadi jembatan
terciptanya kedamaian. Dan itu pula, yang harus menjadi motivasi dengan posisi kita
beragam, bahwa kita punya potensi dengan cara kita untuk menciptakan sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan.
Salam
6 komentar
Keren!
BalasHapusSetiap orang selalu hebat dlam urusan dunia. Begitu pula konflik yang ada, begitu ramah hingga membuat kebanyakan orang bertanya-tanya. Pikiran dan ego yang tak luntur. Semua menjadi satu.
BalasHapusGue percaya, masih ada banyak sudut yang tidak kita perhatikan, padahal itu yang menjadikan negeri ini, ada am ini, adat ini, budaya ini, kembali satu dalam rangkulan kepercayaan.
Nice post ni.
Nice post gan *komen template ini
BalasHapusKadang mikir kenapa sebuah perbedaan itu bisa menyebabkan konflik, padahal dengan adanya perbedaan itu malah menjadi indah. Perbedaan agama, profesi dan sudut pandang, juga perbedaan ojek..
Nggak tau kenapa malah aku inget konflik antara gojek dan tukang ojek pangkalan. Semoga semua konflik cepet selesai deh..
berat nih pembahasannya hehe
BalasHapusudah lama gak ngikutin konflik di maluku, tp sekarang udah gak ada konflik lg kan ya?
Waduh, berat pembahasan nih. Gila, keren, tukang ojek dan pedagang keliling menjadi pahlawan kebenaran.
BalasHapusSuatu kedamaian emang gk akan pernah didapat, tanpa ada orang yang mengharapkan dan mengusahakan untuk mencapainya. Dan, perlu kesadaran dari pihak yang memiliki konflik untuk menyudahi itu semua, juga perlu dukungan dari orang luar yang tentunya berniat untuk membangun, tanpa mencampuri urusan yang memiliki konflik.
Ini banyak pesan moral. Konflik itu bukan mainan, sekarang masih banyak anak muda yang malah mencari konflik dengan tawuran, demo yang anarkis. Karakter penerus bangsa masih perlu dibimbing dan dibina ke arah yang benar. Caranya, dengan memberi contoh yang benar pula lah dari para pemimpin di seluruh Indonesia, pemimpin hati, kelas, perkumpulan, organisasi, keluarga, RT, RW, dll.
Cakeeep nih.
BalasHapusSiapapun berhak membawa perdamaian, sekalipun itu orang-orang yang kastanya tidak dipandang. Nyatanya orang yang kastanya tidak dipandang dan tidak diduga-duga sebagai pembawa perdamaian makah bisa jadi orang yang memperdamaikan suatu konflik.
Salut sama tukang ojek dan para pedagang ini. Mereka menyadarkan orang-orang yang mempermasalahkan perbedaan. Buta akan persamaan yang kita miliki. Dan akhirnya saling main hakim sendiri.