Kosong




Aku kesepian, ya aku kesepian. Walaupun aku selau berjalan ditengah-tengah kerumunan dengan semua kaki yang selalu berusaha membawaku pada sisi keramaian, semua tangan yang selalu menggapai tangan-tangan yang lain untuk membuatku merasa tak kesepian. Tapi apa yang terjadi padaku? Aku begitu merasa sepi saat ini, kemarin, dan beberapa hari yang lalu. Aku merasa ada suatu tempat di dalam diriku yang begitu membutuhkan suatu keramaian. Aku kesepian.

Dulu sekali aku pernah merasa tempat itu seperti selalu ramai dengan segala keramaian hidup. Tapi kini aku merasa sendiri, sangat sepi dan sendiri. Apa yang salah? Apa yang hilang sehingga aku merasa seperti ini. Padahal aku punya banyak teman, sahabat, dan kaluarga yang selalu datang membawa senyum paling indahnya. Sekarang semuanya seperti pergi, entah kemana.

“Pergilah dari dirimu yang sekarang ini, jenguklah dirimu yang dulu kala, saat kamu merasa benar-benar tak ada beban dalam hidupmu. Ada sejuta tangan yang tak terlihat yang akan siap membantumu jika kamu siap berkelana mengunjungi kehidupan lamamu. Sadarlah sekarang kawan, hidupmu tergantung dari apa yang kamu gantungkan saat ini. Mintalah bantuan Tuhanmu, jenguklah Tuhanmu. Sudah berapa lama kamu tak mendengar kabarnya?”.

Ya, memang aku sudah lama tak mendengar kabar Tuhanku, sudah lama aku tak bertegur sapa denganya. Mungkin sekarang Tuhanku sudah jenuh denganku yang selalu melupakan-Nya dan memilih lebih mementingakan hal yang tak berguna. Apa yang aku lakukan sekarang ini hanya akan selalun memancing emosi-Nya. Aku berharap Tuhanku selalu memepringatkanku agar selalu ingat pada-Nya, dan memberitahuku sebenarnya pa yang hilang dari diriku ini, kenapa aku selalu merasa sepi.

“Kamu yang lebih tahu tentang dirimu, bukan orang lain. Selidiki semua sudut di dalam hatimu sampai kebagian yang paling kecil sekalipun. Karena disana engkau akan menemukan suatu jawaban atas pertanyaan yang selalu mebuat resah hatimu. Percayalah Tuhanmu tidak akan pergi melepasmu, Ia akan selalu ada dalam hatimu yang entah dimana. Tanpa kamu sadari. Merenunglah sejenak dalam hidupmu, jelajahi waktu masa lalumu, indahkan harimu saat ini, dan terangi masa datangmu. Hidupmu di tanganmu.”

“Jangan hanya ngoceh saja, semua tak seperti saat aku mengedipkan mataku. Semua sangat susah untuk aku jalani. Kau kan tahu sendiri aku dari dulu merasa seperti ini, tanpa perubahan. Bantu aku untuk saat ini saja, jangan cuma ngoceh dengan omongan gak jelas”.

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu. Aku ini bukan siapa-siapa, dan aku tidak tahu apapun dengan semua permasalahanmu saat ini. Yang jelas kau harus mau kembali mengunjungi Tuhanmu”.

“Apa maksudmu dengan mengunjungi Tuhanku? Apa Dia sakit? Tuhanku tak perlu dikunjungi atau dijenguk. Dia lah yang seharusnya menjengukku, karena aku inihanya hamba-Nya yang lemah. Tuhanku kan Mahanya Maha Kuat”.

             
Perdebatan demi perdebatan yang terus saja terjadi dan semakin membuatku bingung kenapa aku seperti ini. Semua tak akan terselesaikan hanya dengan seperti ini, bukan dengan perdebatan tapi jawaban yang memang mutlak. Tak terbantahkan. Mungkin ada benarnya juga, aku harus mengunjungi Tuahnku, walaupun Dia tak butuh kedatanganku. Semoga Dia mau menerima kedatanganku dan menjamuku . Bismillah...

***


Allahu Akbar Allahu Akbar ...
Asyhadu Anlaa IlaahaillaLlah ... Asyhadu Anna Muhammadar RosuluLlah ...
Hayya ‘Ala Shola ... Hayya ‘Alal Falah ...
Allahu Akbar Allahu Akbar ... Laa IlaahaillaLlah ....

Maghrib kembali hadir ditengah lambatnya waktuku bersujud  memohon petuah dari Tuhanku. Maghrib yang datang saat langit jingga tak lagi nampak terang dan mulai redup perlahan ditengah jejaknya. Aku pun masih bersimpuh berbasah dengan air mata yang entah akan dianggap aku sengaja atau tulus. Yang penting aku sudah menjenguk Tuhanku, Tuhan Semesta Alamku.

Apa yang menjadi inginku saat ini adalah jawabana atas segala pertanyaan yang selalu membelit di dalam pikiranku. Pertanyan yang belum aku temukan jawabannya sampai saat ini, dengan beberapa cabang pertanyaan yang akan selalu membuat aku bingung apa sebenarnya jawabannya. Aku berharap dengan kedatanganku kepada Tuhanku bisa sedikit memberi jawaban yang absolut, bukan abstak.

“Tuhan Semesta Alam... Tuhan seluruh makhluk, bolehkan lah aku untuk selalu bertamu di kediaman-Mu dalam segala keadaanku ini, dengan segala salah yang Kau anggap salah, dengan segala dosa yang Kau anggap dosa. Tuhan pemilik jagat raya, ijinkan aku untuk selalu memasuki kediaman-Mu paling indah, Tuhan pemberi nikmat, mudahkanlah jalanku kepadamu, jawablah segala pertanyaanku, aamiini doaku, aamiini aamiinku. Aamiin”.

Pada Maghrib yang ini, aku mulai mencoba mulai menata hati, dan pikiranku untuk sebisa mungkin mengamanahi diri untuk bagaimana caranya bisa selalu bertamu di kediaman Tuhanku. Meghrib yang akan menjadi titik balik keadaanku untuk ke depan. Semoga.

Tapi bukan hal yang mudah untuk menjaga semua itu, karena memang pada dasarnya kesulitan yang sebenarnya adalah konsisten. Karena pada dasarnya kesulitan yang sebenarnya adalah pada titik konsistennya. Dan kembali sebuah pertanyaan tiba-tiba munculo dalam pikiranku mengani hal ini, apakah aku bisa konsisten ke depan untuk terus berkelakuan seperti Maghrib ini?. Aku sangat tahu benar bahwa aku terlalu takut untuk memulai, dan sulit untuk konsisten.

“Kamu harus tetap berusaha walaupun kamu berpikir demikian, pasrahkan saja semua pada Tuhanmu yang saja engkau jenguk. Dia pasti tahu apa maksudmu, dan pastilah akan mengabulkan permintaanmu jika itu memang benar-benar kamu butuhkan. Menurut-Nya. Kamu tidak akan bisa hanya sekedar bertanya-tanya, terus berpikir tanpa memulai sesuatu.

 “Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan dirimu itu sepenuhnya ada di tanganmu, ada di setiap langkahmu, cara yang kau pilih, dan kau jalani saat ini. Jangan takut untuk memulai sesuatu yang itu menurutmu benar. Jalani saja dulu, jika kemudian itu salah yang harus kamu lakukan adalah mengevaluasi dirimu, bukan mengevaluasi Tuhanmu. Tuhanmu sudah berbuat sesuai dengan apa permintaanmu, tengoklah dirimu sendiri”.

 “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tuntutanmu terlalu banyak, dari kemarin kamu cuma bisa menuntut, bukan menuntun. Percayalah kawan, aku tidak bisa menagkap semua yang kamu omongkan, dan kamu tuntut itu. Cobalah untuk menuntunku, bukan menuntut. Datanglah setiap satu jam sehari, atau satu hari sekali untuk mengingatkan aku”.

“Apa ini belum cukup kamu anggap sebagi menuntun? Aku selalu datang walaupun kamun tidak pernah meanggilku, walau kamu tak pernaih ingin. Ini adalah salah satu bentuk perhatianku padamu kawan. Aku ini adlah salah satu bagian darimu yang bertempat jauh di dalam lubuk hatimu. Ya, sangat jauh sekali, kau bahkan tidak akan menemukan aku jika kamu putuskan untuk mencari dimana letakku. Jika memamh itu yang kamu inginkan baiklah kawan, aku akan datang setiap satu jam sekali, satu satu hari sekali. Salam”


Percakapan berakhir.

***


Hariku terasa masih kosong sampai sekarang, semuanya seperti keadaan saat jam 03.00 pagi. Sepi sekali. Hanya beberapa ayam yang sibuk adu nyanyian paginya, beberapa jangkrik yang sibuk bermain dengan kawan-kawannya, dan beberapa suara lenguhan sapi yang berasa seperti mals untuk ikut bangun. Sepi sekali hidupku saat ini. Padahal ada beberapa orang yang selalu datang dengan senyumnya kepadaku, ada beberapa wanita yang selalu menawarkan wajah ayunya untuk sekedar aku lihat, beberapa kawan dan sahabat yang tidak pernah lelah mengajakku tertawa.

             
Aku selalu meras sendiri sampai sekarang ini. Sampai hari ini tentunya. Rasa senang dulu seperti diformat ukang oleh Tuhan, rasa bahagia seperti keadaan kanak-kanakku seperti hilang tersapu oleh lari sang waktu yang memaksaku untuk melupakan rasa bahagia itu. Padahal saat bahagia tersebut selalu membuatku meras bahwa hidup ini memang benar-benar indah seperti para pujangga dalam syair mereka. Tapi kenapa semua seperti hilang begitu saja.

Apakah Tuhan ingin aku merasa kesepian agar aku selalu ingat pada-Nya? Ataukah aku sengaja dibuat merasa sepi oleh oleh-Nya agar aku mengoreksi kinerja Tuhan? Padahal selama ini aku tidak pernah meragukan kinerja Tuhan. Aku percaya pada-Nya, aku percaya bahwasanya dialah seorang manajer paling hebat di dunia ini. Dia bisa membuat para Malaikat yang begitu banyak untuk selalu patuh dan taat kepadanya, tidak ada satu yang terlewat dari tugas yang diberikan oleh Tuhanku.

Apa yang salah dengan diriku? Apa sudah terlalu lupa dengan keberadaan Tuhan dalam duniaku ini?. Apa aku selalu lebih mementingkan sekitarku sehingga aku tidak lagi perduli dengan Tuhanku yang sekarang entah sedang apa Dia. Sebenarnya kan entah Dia sedang apa itu bukan hakku, Dia tahu apa yang harus dilakukan, Dia lebih mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Kerana tidak ada yang mampu mengahalangi Kun Fayakun-Nya. Semua pasti akan tunduk, dan manthuk-manthuk saja.

Lalu apa sebenarnya salahku sehingga aku merasa kosong, sepi seperti ini. Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan batinku ini. Tidak juga kau, atau Malaikat yang bertugas mencatat kelakuanku. Mungkin hanya Tuhanku yang tahu jawaban mutlaknya. Karena seperti yang sering disebut oleh Kitab Al-Qur’an, bahwa Tuhanku itu Maha dari Mahanya Tahu, Maha dari Mahanya Mengerti. Dia pastilah yang tahu, tidak aku, tidak juga Malaikat-Nya.

Karena sebenarnya Dia adalah Tuhanku, Sang pengatur Dunia dan hariku. Aku hanya akan tetap diam, berusaha seperlunya, dan selalu percaya bahwa Dia adalah Tuhanku, tidak ada yang lain. Hanya sebatas itulah yang aku pegang selama ini, akua tak tahu seberapa besar dosaku, berapa kilo bobot pahalaku, dan lebih berat mana pahala atau dosaku.

Semua itu bukan urusanku, itu semua urusan Tuhanku dan para Malaikat-Nya yang selalu setia disisi-Nya. Aku tidak pernah perduli lebih berat mana antara pahala atau dosaku. Terserah akan lebih berat yang mana. Yang aku yakini hanya Tuhanku itu satu walau dosaku banyak, Tuhanku satu walau Malaikat-Nya banyak. Dialah Tuhan Semesta Alam. Tempat segala curahan hati manusia tertampung. Sempurna.

***

“Salam pagi hari kawan. Apa kabarmu hari ini, semakin membaik atau semakin memburukkah kawan?. Aku datang lagi bukan untuk menuntut seperti yang kamu katakan kemarin. Aku disini untuk sekedar bertanya dan mengingatkan, apakah kamu sudah menjenguk Tuhanmu?”.


 “Kenapa kamu selalu bertanya seperti itu? Tuhanku baik-baik saja, Dia tidak sakit. Kenapa aku harus menjenguk-Nya?. Percayalah bahwa aku saat ini masih yakin bahwa Dia itu Tuhanku yang satu, dan semesta alam. Tak terbantahkan”.

“Ya, aku sangat tahu mengenai hal itu, kamu bukanlah seorang yang bisa dengan mudah mengurangi rasa percayamu. Tapi seharusnya kamu sudah menemukan titik permasahanmu jika kamu benar-benar sudah mengunjungi Tuhanmu. Karena masalahmu sebenarnya adalah bagaimana hubunganmu dengan Tuhanmu sekarang ini. Tali vertikalmu sudah hampir putus kawan. Kau perlu lagi untuk mempererat talimu tersebut. Percayalah ini hanya sekedar mengingatkan, hanya menuntun, bukan untuk menuntut”.

“Apakah sujudku selama ini kurang? Apakah akau terlalu memilih untuk tetap mau bersujud?. Aku hanya merasa aku tidak pernah berhenti bersujud, tidak pernah berhenti meminta. Aku selalu bersujud pada Tuhanku, walau bukan secara formalitas. Tapi aku selalu bersujud, patuh, dan taat pada apa yang sealu dilarang dan yang diperintah. Jika kamu ingin aku menghadap Tuhanku, sebenarnya kamu ingin aku mati sekarang. Karena bagaimana mungkin aku tidak menghadap Tuhanku, jika sebenarnya dunia yang aku injaki ini adalah sarana penghubung tali vertikal dengan Tuhanku. Pun dengan sekarang ini aku berdebat denganmu, secara tidak langsung aku juga sedang menghadap Tuhanku. Karena dunia ini adalah penghubung”.


“Benar, tapi apakah kamu tidak berpikir bahwa sesungguhnya yang kumaksud bukanlah seperti itu. Akan kusederhanakan lagi ucapanku. Apakah kamu sudah Sholat? Apakah kamu sudah membayar Sholat yang kamu hutang selam ini? Apakah kamu tidak sadar berapa banyak hutang Sholatmu?. Kamu pasti sudah lupa sudah berapa banyak Sholat yang kamu hutang. Aku dan kamupun tahu bahwa kesempatan taubat itu kapan saja asal nyawamu masih ada, dan sebelum Matahari terbit dari barat. Tapi apakah kamu sadar bahwa kesempatan sholatmu yang terbatas. Terbatas sampai seberapa lama nyawamu dibiarkan, terbatas sampai Matahari terbit dari barat. Ingatkah kamu dengan hal itu kawan?. ini hanya sekedar tuntunan, bukan tuntutan”.
        


Belum Selesai ....

You Might Also Like

0 komentar