Yang Terbunuh Qoryah Thoyyibah

Qaryah Thoyyibah
Secara pribadi, saya adalah salah satu orang yang terbunuh oleh keberadaan Qoryah Thoyyibah sebagai sebuah pendidikan alternatif di negeri ini. Dan mungkin masih banyak korban lain yang diam dengan apa mereka alami. Saya hanyalah satu dari sekian korban yang bicara tentang Qoryah Thoyyibah dan apa yang mereka lakukan.

Mungkin saya menulis ini secara pribadi, mungkin pula sebagai wakil (wakil tanpa mandat) dari komunitas belajar yang menaungi saya, beserta para anggotanya. Saya sendiri tidak bisa menjamin bahwa saya mewakili mereka.

Waskita (Lahir, Berdiri, Tidur, Berdiri, Bergerak, Maju)
Selama ini, saya begitu kagum dengan pandidikan alternatif Qoryah Thoyyibah yang pertama kali saya kenal pada tahun 2007, lewat buku yang ditulis oleh salah satu anggotanya, yaitu mbak Maia Rosyida. Buku tersebut berjudul Gus Dur, Ayik gitu lhoo! Keterangan tentang komunitas tersebut ada pada biografi penulis. Hal tersebut berlanjut ketika Pak Ilyas (tokoh desa) ingin membuat sebuah sekolah yang tidak sama dengan sekolah pada umumnya (2009). Dan referensi yang digunakan adalah Qoryah Thoyyibah. Mulai saat itu, saya sedikit lebih tau tentang Qoryah Thoyyibah.

Singkat cerita, komunitas kami berdiri dengan terus menjadikan Qoryah Thoyyibah sebagai rujukan. Bahkan beberapa kali belajar langsung ke salatiga untuk menimba ilmu dari mereka.

Namun ternyata apa yang kita impikan tidak sesuai dengan kenyataan. Satu tahun lebih bersama dalam komunitas yang bernama Waskita, kita harus pisah sebab anggota yang harus pindah ke berbagai tempat. Satu tahun yang penuh perjuangan, kenangan, kebersamaan, dan tentu saja juga problem internal.

Dalam waktu tahun tersebut, kita bukan tanpa apapun. Ada sekitar 12 buku yang tercetak, serta karya dalam bentuk lain yang tidak lagi bisa kami hitung. Sayangnya, hampir seluruh karya tersebut raib sebab jumlah cetak yang terbatas dan hardisk yang ditakdirkan terbakar.

Nurhadi Muhammad, Thomis Fitan, Fathoni, Mahfudz Wahyudiansyah, Abdullah Habib, Muhammad Ainun Nadjib, Billy Dimas Tiono, dan saya tentu saja. Namun meski perjuangan untuk bertahan dengan sisa-sisa anggota yang ada, pada akhirnya, tanpa pembubaran, komunitas ini pun tidak lagi aktif. Sebuah hal yang sampai sekarang masih saya kecewakan. Ada ketidakrelaan, dan tentu saja ketidakrelaan tersebut adalah sebuah hal yang wajar, mengingat beratnya perjuangan untuk terus hidup dalam komunitas ini. Meski pada akhirnya memang harus seperti sekarang.

Saya tidak mau dan tidak pernah mengatakan bahwa Waskita bubar, Waskita berakhir. Sama sekali tidak. Jika memang dulu kita memilih tidak sekolah dan ikut mendirikan komunitas tersebut. Hal tersebut karena kita memang punya kesempatan untuk bersatu dalam satu lantai, satu tempat. Namun jika keadaan seperti sekarang, yang harus dilakukan tentu beda. Dan sama sekali tidak menjadi alasan untuk tidak menghidupkan Waskita dengan gairah karyanya.

Kita harus hidup dengan mengatasi masalah pembentangan jarak antar kaki kita. Sebuah masalah yang harus kita cari solusinya. Jika kita hidup ketika berada dalam satu lantai, itu bukan berarti kita tidak bisa hidup ketika berada di lantai yang berbeda .Jika permasalahan yang kita hadapi selama ini berhasil kita singkirkan, harusnya rintangan jarak ini pun juga harus kita atasi. Jika kita tidak diberikan cobaan berat yang harus kita kalahkan, kapan kita menaiki derajat yang lebih tinggi?

Maka, sangat benar, tidak salah, ketika kita mengikrarkan diri kita ketika pada akhirnya kita tau bahwa Waskita tidak lagi bisa dalam satu majelis. Ikrar, "sekalipun kita tidak berada dibawah gedung waskita, lingkaran diskusi bersama, kita tetap Waskita. Kita membawa ke-Waskita-an dalam diri kita masing-masing." Kita membawa waskita dalam setiap hal yang kita lakukan, karya yang kita lahirkan, karya yang kita luncurkan. Ada ruh Waskita dalam jasad karya yang kita buat.

Jika 2 tahun yang kita lewati tanpa karya bersama. Anggap saja itu masa rehat, dan masa dimana kita menyiapkan konsep untuk lebih maju. Dimasa mendatang, kita harus lebih hidup dan waskita yang sebelumnya. Bersatu bukan berarti dalam satu tempat, tapi bersatu adalah kebersamaan yang hidup.

Qoryah Thoyyibah, Sang “Pembunuh”
Sekali lagi, saya adalah salah satu korban pembunuhan Qoryah Thoyyibah. Saya tidak tau apakah saya mewakili Waskita atau tidak dalam hal ini. Tapi saya harus jujur bahwa Qoryah Thoyyibah berperan besar dalam “membunuh” kemandegan untuk menghasilkan karya. Mereka adalah sebuah inspirasi.

Qaryah Thoyyibah
Jujur saja, saya “iri” dengan apa yang bisa mereka hasilkan. Dan tentu saja bersama rasa bangga. Mereka masih terus eksis berproduksi dan melahirkan karya-karya baru. Bersamaan dengan hal tersebut, saya merasa bahwa apa yang mereka hasilkan adalah lecutan untuk saya tidak diam, tidak berpangku tangan, tidak malas. Ada energy yang datang dari mereka.

Diskusi dengan mereka, melihat apa yang mereka lakukan, review apa yang mereka hasilkan adalah sebuah kebahagiaan yang ternyata membuat gairah berkarya kembali hidup. Qoryah Thoyyibah membunuh dekadensi, stagnasi, dan menghidupkan jiwa untuk menciptakan sesuatu.

Terakhir, acara Lentera Indonesia di Net tv mengulas tentang mereka. Ada rasa bangga dan prihatin. Bangga karena mereka masih dan terus menghasilkan karya. Prihatin karena tidak banyak yang saya perbuat untuk Waskita.

Semoga Qoryah Thoyyibah benar-benar membunuh keburukan yang sudah lama mengendap, dan menghidupkan kembali Waskita, dan saya secara khusus, untuk melahirkan karya, kembali.


Salam

You Might Also Like

1 komentar